Tunggu Tubang: Penjaga Api di Rumah Pusaka Semende

"Ditulis Sebagai Pencerahan Bagi Semua Unsur yang Berhubungan Dengan Adat Tunggu Tubang"

Oleh: Hafizul Ahkam Jurnalis Semende

Di sebuah rumah panggung tua di kaki Bukit Barisan, asap tipis dari tungku kayu perlahan naik ke sela-sela papan dinding. Bau kopi Semende yang baru disangrai bercampur dengan wangi kayu hutan basah. Di sinilah, di sebuah dusun kecil Desa Aremantai di wilayahnKecamatan Semende Darat Ulu, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, kita menemukan inti dari salah satu tradisi waris paling unik di Indonesia — tradisi Tunggu Tubang, sebuah sistem yang menjadikan anak perempuan tertua sebagai pemegang dan penjaga harta pusaka keluarga.

Bagi masyarakat Semende, tradisi ini bukan sekadar aturan adat. Ia adalah napas yang menghidupi ikatan kekeluargaan, sebuah kompas moral yang memastikan bahwa harta leluhur tetap utuh dan berfungsi untuk kesejahteraan seluruh keturunan.

Sang Penjaga Rumah dan Ingatan

Nama Rasmayati (55) sering disebut-sebut sebagai contoh ideal seorang Tunggu Tubang di dusunnya. Rumah kayu yang ia tempati adalah rumah pusaka yang dibangun kakek buyutnya hampir satu abad lalu. Atap seng sudah diganti beberapa kali, tapi tiang-tiang besarnya masih berdiri, menghitam oleh usia.

“Rumah ini bukan punya saya,” katanya sambil tersenyum. “Saya hanya menjaganya agar tetap bernyawa.”

Kalimat itu merangkum filosofi Tunggu Tubang: mewarisi bukan berarti memiliki, melainkan menjaga—rumah, sawah, kebun, dan seluruh nilai yang terkandung di dalamnya.

Tanggung jawabnya besar. Setiap acara keluarga, dari kelahiran hingga perkawinan, berlangsung di rumah pusaka. Setiap panen dari kebun kopi, setiap jengkal sawah yang harus dijaga agar tetap subur—semua berada dalam kendali dan tanggung jawabnya, meski hasilnya dinikmati bersama oleh seluruh anggota jurai.

Di ruang tengah rumahnya, tergantung foto-foto hitam-putih leluhur. “Mereka ini penjaga pertama,” ujarnya pelan. “Saya hanya meneruskan apa yang sudah diwariskan.”

Harta yang Tak Boleh Dijual

Di banyak daerah Indonesia, tanah adalah aset pribadi. Tapi di Semende, harta pusaka adalah tali pengikat generasi. Sawah dan kebun yang diwariskan tidak boleh dijual tanpa musyawarah besar keluarga.

Larangan ini bukan soal ketakutan melanggar adat; lebih dari itu, ini soal menjaga ketahanan keluarga. Harta pusaka adalah jaring pengaman sosial. Jika ada anggota keluarga yang kesulitan, mereka dapat memanfaatkan lahan untuk menanam padi atau membuka kebun kecil.

Tetua adat menjelaskan dengan sederhana:
“Kalau pusaka hilang, keluarga hilang pegangan.”

Peran Saudara Laki-Laki: Penjaga di Balik Layar

Meski anak perempuan tertua menjadi figur utama, peran saudara laki-laki sangat penting. Mereka adalah Apit Jurai — penyangga dari kiri dan kanan.
TUGAS mereka bukan mewarisi, tetapi menopang: membantu mengelola lahan, memberi pendapat ketika ada sengketa, mengawasi penggunaan hasil panen, dan memastikan Tunggu Tubang tidak terbebani sendirian.

Dalam banyak rumah, suara mereka adalah suara penengah, sekaligus pembimbing adat.

“Kami ini dindingnya,” kata seorang tetua jurai. “Kalau rumah goyang, kami yang menahan.”

Tradisi dalam Arus Zaman

Namun, seperti sungai yang terus mencari jalannya, zaman membawa tantangan baru.

Banyak anak perempuan tertua kini menempuh pendidikan tinggi atau bekerja di kota besar. Tak lagi mudah bagi mereka untuk tinggal di rumah pusaka dan mengurus sawah serta kebun yang letaknya jauh dari pusat kehidupan modern.

Sebagian keluarga mulai melakukan penyesuaian: posisi Tunggu Tubang dialihkan kepada adik perempuan atau kerabat perempuan lain yang tinggal dekat rumah pusaka. Dalam beberapa keluarga, pengelolaan lahan dikerjakan oleh saudara laki-laki, sementara keputusan strategis tetap di tangan perempuan pewaris.

Ini bukan perubahan yang dianggap merusak adat — melainkan bentuk adaptasi yang tetap menjaga ruh utama tradisi.

Api yang Terus Menyala

Saat senja turun di DesanAremantai, suara burung mulai meredup dan lampu dinyalakan di rumah pusaka. Dari dapur, tungku kayu kembali menyala, seakan menghidupkan kembali ingatan lama.

Di rumah-rumah seperti inilah, sistem Tunggu Tubang bertahan. Tidak tercatat dalam kitab resmi, tetapi hidup lewat cerita, praktik, dan nilai-nilai yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Tunggu Tubang bukan sekadar tradisi waris — ia adalah penjaga api, penjaga hubungan darah, penjaga akar tempat keluarga kembali pulang.

Dan selama masih ada perempuan Semende yang bersedia memikul tanggung jawab itu, tradisi ini akan terus bernyala, seperti tungku di rumah pusaka yang tak pernah padam.


Hukum Waris Tunggu Tubang di Mata Jurnalis Semende

Sebagai jurnalis Semende, saya memandang hukum waris tunggu tubang sebagai fondasi adat yang tidak hanya mengatur pembagian harta pusaka, tetapi juga menjaga kehormatan keluarga dan keberlanjutan nilai leluhur. Dalam tradisi Semende, tunggu tubang bukan sekadar penerima warisan, tetapi pemegang amanah—penjaga rumah, tanah, dan marwah keluarga yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Namun di tengah perjalanan waktu, adat ini berada di persimpangan. Di satu sisi, ia menjadi perekat sosial yang kuat. Di sisi lain, ia sering bersinggungan dengan hukum negara, dinamika ekonomi keluarga, serta kebutuhan generasi muda yang semakin rasional. Di sinilah peran jurnalis menjadi krusial: menghadirkan fakta apa adanya, menyuarakan tradisi tanpa menutup mata terhadap realitas, serta memastikan bahwa konflik adat dan hukum dapat dilihat secara jernih oleh publik.

Bagi jurnalis Semende, tunggu tubang bukan hanya isu budaya, tetapi juga potret perjuangan masyarakat dalam menempatkan adat di tengah era modern. Tugas kami adalah menjaga keseimbangan informasi: menegaskan bahwa adat harus dihormati, namun proses hukum juga memiliki ruang yang harus dipatuhi. Ketika keduanya bersinggungan, pemberitaan harus tetap objektif, humanis, dan berdasar pada kebenaran, bukan sentimen.

Pada akhirnya, hukum waris tunggu tubang mencerminkan jati diri masyarakat Semende. Ia menjadi pengingat bahwa warisan sejati tidak hanya berupa rumah dan tanah, tetapi nilai amanah, kebersamaan, dan penghormatan terhadap leluhur. Dengan sudut pandang yang jernih dan pemberitaan yang bertanggung jawab, jurnalis Semende terus mengawal agar adat dan hukum dapat berjalan berdampingan, memberi keadilan sekaligus menjaga warisan budaya yang kita cintai bersama.

“Semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua kalangan, khususnya semua elemen yang bersentuhan langsung dengan Adat Tunggu Tubang,”

Show More