Abdul Hadi Almunawar, S.Sy,. MH.-
Oleh : Abdul Hadi Almunawar, S.Sy,. MH.-
Pergolakan politik di tahun 2019 ini semakin mengerus emosional kita selaku warga negara, persaingan yang begitu ketat semakin memadu madankan pemisahan ide dan gagasan dalam persaingan politik ini. Tinggal menghitung hari puncak pelaksanaan persaingan ide ini akan di lakukan yaitu 17 April mendatang.
“Pilihan boleh beda, tapi kita tetap bersaudara”. Sekilas pesan ini terdengar klise karena selalu muncul dalam setiap kontestasi politik akan di laksanakan, termasuk pemilihan presiden (pilpres) dan Pileg mendatang. Tapi, jika melihat dinamika politik saat ini yang menjurus pada kompetisi pragmatis di antara para pihak berbeda pilihan politik, maka pesan tersebut perlu didengungkan kembali.
Persaingan politik pada tinggat elit pemilihan presiden dan wakil presiden hingga persaingan di kelas kabupaten kota pemilihan ligeslatif kabupaten kota kini semakin entrik memisahkan antara satu paslon dan paslon lainnya, bukan hanya pada sisi ide dan gagasan para kandidat semata justru yang menghawatirkan kini sudah memisahkan antara pendukung para paslon dan pendukung para Caleg.
Tentunya sebagai akademisi kita tidak bisa membiarkan hal ini terjadi, kita mesti bergerak dalam menstabilkan keadaan di kalangan masyarakat. Persaingan dalam pemilihan merupakan hal yang lumrah dalam kanca politik demokrasi, bahkan tidak jarang menghadirkan pertarungan ide yang frontal di panggung politik, akan tetapi meskipun berbeda tetaplah mengusung semangat yang sama, yakni untuk perubahan ke arah yang lebih baik. Perbedaan pemikiran, ide, gagasan dan piihan poltik ini bahkan tak sedikit yang berujung pada permusuhan (meski hanya di media sosial) karena perbedaan pendapat dan berbeda pilihan politik. Ada yang mengatakan pilihannya lah yang paling benar, ada juga yang bersikukuh bahwa calon lain itu bersalah.
Pragmatisme politik semakin mendekati pelaksanaan pilpres yang bakal digelar 17 April mendatangi semakin terasa liar. Adalah wajar jika pemilu yang dalam realisme politik berujung pada perebutan kekuasaan selalu diwarnai dengan kerasnya persaingan politik. Tetapi, jangan sampai pertarungan yang muncul menabrak koridor etika dan aturan politik, apalagi hukum. Bukan menjadikan pesta demokrasi ini sebagai arena konflik kekuasaan yang menjatuhkan satu sama lain atau bahkan memicu perpecahaan di kalangan masyarakat, tentunya hal ini berdampak sangat buruk sekali dalam pendidikan demokrasi kita kedepan.
Persoalan tersebut perlu digarisbawahi karena fakta-fakta tersaji saat ini bukan sekadar sebatas saling serang di antara tim sukses atau pendukung masing-masing pasangan calon presiden dan wakil presiden saja, akan tetapi hal ini bahkan terjadi pada para calon anggota legislatif baik tingkat nasional maupun daerah yang bersaing pada daerah pemilihan yang sama. Terlepas siapa yang bermain di belakangnya, kondisi tersebut merusak keberadaban demokrasi.
Dengan ada latar kondisi tersebut, tak heran jika saat ini diskursus di ruang publik yang dipenuhi dengan ujaran kebencian dan narasi-narasi provokatif. Situasi tersebut diperparah dengan ulah elite yang memperkeruh suasana. Padahal, semestinya mereka menjadi penuntun dan pemandu pemilih, bukan malah menjadi medium provokasi baru.
Pada sisi inilah peran kita para akademisi untuk turun menstabilkan kondisi pada masyarakat, sejatinya bukan hanya TNI Polri, ASN dan Penyelenggara Pemilu harus berdiri Netral tanpa menunjukkan Keberpihakan kepada salah satu Pasangan Calon baik pada Pilpres maupun pada Pileg mendatang. Akademisi semestinya bersikap demikian, karena kedudukan akademisi akan sangat berpengaruh pada stigma masyarakat dalam menentukan arah pilihan politik.
Pada kesimpulannya kita semu tentunya berharap dan berkeinginan supaya pelaksanaan pesta Demokrasi mendatang akan berjalan aman dan damai, dan menghadirkan para pemimpin dan wakil rakyat yang akan mewakili semua golongan dengan tidak mengenyampingkan latar belakang para pemilihnya.